🌻SPIRIT MBS AL HIKMAH CEPU (27 OKT) 2023🌻
Apa itu cinta? Istilah cinta mungkin sudah sering didengar bahkan pernah dirasakan oleh setiap orang dalam berbagai bentuk. Makna cinta berdasarkan hierarki emosi dan perasaan disebut memiliki kedudukan di atas rasa sayang. Sebab, prosesnya seperti investasi yaitu dipupuk dari rasa suka kemudian berkembang menjadi rasa cinta. Rasa cinta ini mencakup berbagai keadaan emosional atau perasaan, yang ditandai dengan keintiman, gairah, komitmen, kedekatan, daya tarik, kasih sayang, dan kepercayaan. Karenanya, definisi cinta yang ditawarkan Al-Ghazali adalah:
الحُبُّ عِبارَةٌ عَنْ مَيْلِ الطَّبْعِ إِلىَ الشَّيْءِ المُلَذِّ
Artinya, “Cinta adalah ungkapan dari ketertarikan watak terhadap sesuatu yang dianggap lezat.” (Al-Ghazali, Ihyâ’ Ulûmiddîn, juz IV, halaman 296).
Dengan cinta orang akan lebih semangat dan ikhlas untuk melakukan setiap sesuatu yang disenangi oleh yang dicinta. Dengan cinta pula, ia tidak lagi bertanya mengapa dan bagaimana, karena semuanya dilakukan atas dasar cinta yang sudah melebihi segalanya. Karenanya, seharusnya cinta diberikan pada pihak yang memang berhak mendapatkan cinta dan layak untuk dicinta. Siapakah dia? Menurut Imam Al-Ghazali, tidak ada yang berhak untuk dicinta kecuali hanya Allah Ta’ala. Jika ada seorang hamba meletakkan cintanya kepada selain Allah, itu menunjukkan bahwa cintanya muncul karena kebodohan dan sempitnya pengetahuan terhadap Allah. Jika ia benar-benar mengetahui sifat-sifat Allah, tentu ia tidak akan memperdulikan manusia dan fokus mencintai Allah Dzat Yang Mahakuasa.
Dia-lah Yang Maha Suci untuk diibadahi dengan rasa takut (khauf), berharap (raja’) dan cinta (mahabbah). Tiga rasa ini tidak boleh ada yang hilang salah satunya, ketiganya harus komplet ada pada diri si penghamba. Mencintai Allah subhanahu wa ta’ala yang selanjutnya kita sebut dengan mahabbatullah, bagaimanakah hakikatnya? Apakah diri kita sudah mencintai-Nya dengan semestinya ? Ataukah diri kita malah tenggelam dalam mengejar cinta makhluk atau kalbu kita disesaki dengan mabuk cinta kepada makhluk sehingga tidak tersisa lagi tempat untuk-Nya?
Jujur harus kita akui, kebanyakan dari umur kita telah kita lalui dengan pembicaraan tentang cinta kepada makhluk dan ambisi untuk beroleh cinta makhluk. Ketika cinta kita kepada si makhluk bertepuk sebelah tangan, gayung tiada bersambut, patahlah hati kita, serasa sesak dada kita. Demikianlah cinta dan mencinta makhluk, kita bisa “sakit” karenanya.
Adapun cinta yang selama ini sering kita abaikan dan terluputkan dari pikiran kita, padahal Dia merupakan cinta teragung, sungguh tiada membekaskan sakit yang melukai kalbu. Itulah cinta kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Tidak akan patah arang seorang hamba yang mencintai-Nya ketika mengejar cinta-Nya. Karena siapa yang jujur dalam cintanya, Allah subhanahu wa ta’ala pasti akan membalas cintanya. Sebuah cinta yang berbuah kemanisan, kelapangan, dan kebahagiaan di dunia dan terlebih lagi di akhirat kelak.
Mahabatullah adalah sebuah kelaziman bagi yang mengaku beriman kepada-Nya, baik dia lelaki maupun perempuan. Bahkan cinta ini termasuk syarat Laa ilaaha illlallah dan merupakan asas atau landasan dalam beramal. (ad-Da’u wa ad-Dawa’, Ibnul Qayyim, hlm. 303)
Yang namanya cinta dan mencintai-Nya bukanlah sekadar pengakuan lisan atau ucapan di bibir saja, namun harus sebagaimana yang dinyatakan-Nya dalam tanzil-Nya, *"Katakanlah (ya Muhammad), “Jika benar-benar kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian….”* (Ali Imran: 31)
Kata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Ayat yang mulia ini merupakan hakim pemutus (yang memberikan penghukuman) bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah subhanahu wa ta’ala, sementara orang itu tidak di atas thariqah muhammadiyah (yaitu jalan yang ditempuh oleh Rasul Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam). Orang itu dusta dalam pengakuan cintanya sampai dia mau mengikuti syariat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, tunduk pada ajaran nabawiyah dalam seluruh ucapan, perbuatan dan keadaannya, sebagaimana berita yang datang dalam kitab Shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa yang mengamalkan suatu amalan tidak di atas perintah/perkara kami maka amalan itu tertolak.”
Dengan mencintai-Nya, yang dibuktikan dengan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka kita akan mendapatkan lebih daripada apa yang kita upayakan yaitu kita akan mendapatkan cinta-Nya, dan ini lebih agung daripada yang pertama (cinta kita kepada-Nya), sebagaimana kata sebagian ulama ahli hikmah,
لَيْسَ الشَّأْنُ أَنْ تُحِبَّ، إِنَّمَا الشَّأْنُ أَنْ تُحَبَّ
“Tidaklah penting bagaimana kamu mencinta, yang penting hanyalah bagaimana kamu dicinta.”
Al-Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Ada orang-orang yang mengaku mencintai Allah subhanahu wa ta’ala, maka Allah subhanahu wa ta’ala uji mereka dengan ayat ini (ayat 31 dari surat Ali Imran). “ Karena itulah, ayat ini dinamakan ayat mihnah/ujian, kata al-Hafizh Ibnul Qayyim rahimahullah. (Tafsir Ibni Katsir, 2/24—25)
Bila Allah subhanahu wa ta’ala mencintai kita maka itu merupakan bukti cinta kita jujur kepada-Nya. Adapun bukti cinta kita kepada-Nya adalah dengan ittiba’ (mengikuti) kepada sang Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan ittiba’ tersebut, kita akan beroleh buahnya yaitu cintanya Dzat yang mengutus sang Rasul. Bila kita tidak mau ittiba’ kepada sang Rasul, lalu kita mengaku cinta kepada-Nya maka cinta kita ini tidaklah benar sehingga Dia pun tidak mencintai kita. (Madarij as-Salikin, 3/20)
Ada sepuluh sebab seorang hamba akan beroleh cintanya Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana disebutkan al-Hafizh Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah,
1. Membaca al-Qur’an dengan tadabbur, memahami maknanya dan apa yang diinginkan dengannya.
2. Mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan amalan nawafil setelah mengerjakan yang fardhu, karena ini akan mengantarkan kepada derajat dicintai setelah mencintai.
3. Terus-menerus mengingat-Nya dalam seluruh keadaan dengan lisan, kalbu, dan amalan. Bagian yang diperoleh seorang hamba dari cinta-Nya sesuai dengan bagiannya dalam mengingat Dzat yang dicinta.
4. Mengutamakan apa yang dicintai-Nya daripada apa yang kita cintai tatkala hawa nafsu sedang bergejolak.
5. Kalbu berusaha mempersaksikan dan mengenal nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta berbolak-balik dalam taman pengetahuan ini. Siapa yang mengenal Allah subhanahu wa ta’ala dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya serta perbuatan-perbuatan-Nya, dia pasti akan mencintai Allah subhanahu wa ta’ala.
6. Menyaksikan dan mengakui kebaikan-Nya dan nikmat-nikmat-Nya yang zahir maupun batin.
7. Hancur luluhnya kalbu secara total di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala, merasa tidak berdaya sama sekali di hadapan-Nya. Tiada tersisa kesombongan sedikit pun karena menyadari diri ini tidak ada apa-apanya sama sekali di hadapan kebesaran dan kekuasaan Sang Khaliq.
8. Bersepi-sepi (khalwat) dengan-Nya di waktu turun-Nya untuk bermunajat kepada-Nya dan membaca kalam-Nya, kemudian menutupnya dengan istighfar dan tobat.
9. Duduk-duduk (bermajelis) dengan para pecinta-Nya, orang-orang yang jujur dalam keimanan mereka, dan memetik buah yang indah dari ucapan mereka sebagaimana buah yang bagus dipilih dari yang selainnya.
10. Menjauhi segala sebab yang dapat memisahkan kalbu dengan Allah subhanahu wa ta’ala. (Madarijus Salikin, 3/18)
Mari kita jujur dalam mencintai Allah SWT dan Rasul-Nya, dan janganlah terlena dengan sibuk mencinta dan mencari cinta makhluk, namun mengabaikan untuk mencintai-Nya dan beroleh cinta-Nya.
Sungguh, siapa yang mencintai-Nya dengan jujur, Dia pun akan mencintai si hamba dan menjadikan penduduk langit dan bumi mencintai si hamba, sebagaimana dalam hadits,
إِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ عَبْدًا دَعَا جِبْرِيلَ فَقَالَ: يَا جِبْرِيْلُ، إِنِّي أُحِبُّ فُلاَنًا فَأَحِبَّهُ. قَالَ: فَيُحِبُّهُ جِبْرِيْلُ. قَالَ: ثُمَّ يُنَادِي فِي أَهْلِ الْسَّمَاءِ: إِنَّ اللهَ يُحِبُّ فُلاَنًا فَأَحِبُّوْهُ. قَالَ: فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ. ثُمَّ يُوْضَعُ لَهُ الْقَبُوْلُ فِي الْأَرْضِ…
Sungguh, apabila Allah subhanahu wa ta’ala mencintai seorang hamba, Allah memanggil Jibril, lalu berkata, “Wahai Jibril, sungguh, Aku mencintai Fulan maka cintailah dia.” Jibril pun mencintai si Fulan. Kemudian Jibril menyeru kepada penduduk langit, “Sungguh, Allah mencintai Fulan, maka cintailah dia.” Penduduk langit pun mencintainya. Kemudian diletakkanlah penerimaan (rasa cinta) penghuni bumi kepada si Fulan. (HR. al-Bukhari dan Muslim)🙏
No comments:
Post a Comment